Pertemuan ini saya awali dengan pangastungkara, Om Swastyastu. Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang saya muliakan, Bhuta Yadnya adalah suatu korban suci yang bertujuan untuk membersihkan tempat (alam beserta isinya), dan memelihara serta memberi “Penyupatan” kepada para Bhuta Kala dan makhluk-makhluk yang dianggap lebih rendah dari manusia.
Dengan demikian pembersihan itu mempunyai dua sasaran yaitu :
1. Pembersihan terhadap tempat (alam) dari gangguan dan pengaruh-pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh para bhuta-kala dan makhluk yang dianggap lebih rendah dari manusia seperti tersebut di atas.
2. Pembersihan terhadap Bhuta-Kala dan makhluk-makhluk itu, dengan maksud untuk menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada padanya, sehingga sifat baik dan kekuatannya dapat berguna bagi kesejahteraan umat manusia dan (alam). Hendaknya disadari kehidupan kita ini memerlukan pula kekuatan-kekuatan dari mereka, misalnya untuk menjaga rumah, menjaga diri sendiri dan sebagainya.
Pemeliharaan yang dimaksudkan disini adalah untuk menjaga agar mereka tetap bersifat baik serta berada atau bergerak menurut jalannya masing-masing, sehingga tidak menimbulkan gangguan kepada alam dan isinya. Suatu yang kelihatannya agak berlawanan adalah pemeliharaan terhadap para “Binatang”. Seperti diketahui bahwa bentuk upakara Bhuta-Yadnya di Bali khususnya, mempergunakan banyak jenis hewan. Makin tinggi tingkatan upakara itu, makin banyak pula hewan yang dipotong untuk yadnya tersebut. Sehingga sepintas lalu seolah-olah tidaklah ada unsur-unsur pemeliharaannya. Tetapi kalau diperhatikan lebih lanjut “Puja dari pengelepas perani/patikewenang”, yang diucapkan pada waktu upacara “mepepada” dan setiap akhir suatu yadnya, menunjukkan bahwa unsur pemeliharaan disini tidaklah bersifat nyata seperti memberi makan, mengobati, dan sebagainya, melainkan lebih bersifat abstrak/rohaniah yaitu meningkatkan hidup para binatang itu dari alam hewan ke alam manusia. Jadi lebih bersifat “penyupatan”, kepadanya. Dengan menjelmanya dia sebagai manusia kelak, agar dapat berbuat kebajikan, sehingga dia dapat mencapai kesempurnaan hidupnya (memperbaiki “karma”nya).
Sebagai contoh dari “pengelepas perani” itu adalah sebagai berikut :
Ong indah ta kita pada, saking purwa desa sinangkan tapamuliha kita maring purwa-desa, menembah ta kita maring Sang Hyang Iswara.
ONG SANG namah linggan ta. Wus samangkana pasangsarga kita ring Sang Hyang Iswara, aywa ta kita tan mangantitiakena katuturan ira Sang Hyang Dharma, tutur-tutur aywa lali, enget-enget aywa lupa, nahan teka ring dalem kepatian. Yan kita dadi jadma dadi ya kita “wiku sakti”, saguna kayanta aturakena ring ulun apan ulun umatukena iri kita.
ONG SANG Sadya ya namah.
Demikian pula halnya dengan hewan yang berkaki empat, perginya ke selatan. Untuk segala jenis ikan, pegi ke utara segala yang berjalan dengan dada, pergi ke barat; dan seterusnya termasuk jenis daun-daunan, pohon-pohonan pergi ke tengah.
Yang dimaksud dengan “penyupatan” dalam hal ini adalah untuk mengmbalikan mereka ke tempat/kepada asalnya dan memberi peningkatan yang lebih sempurna kepadanya. Di dalam beberapa lontar seperti Widi-sastra, Yama-tatwa, Lebur-gangsa, disebutkan bahwa salah satu yang menjadi bhuta kala, peri, jin, setan, dan lain-lain, yang sejenis dengan itu adalah dewa-dewa atau roh-roh yang terkutuk karena dosa-dosanya/kesalahannya, serta diturunkan ke dunia untuk mencari “penyupatan”. Sebagai contoh misalnya adalah terkutuknya Dewi Uma menjadi Durga Dewi, kemudian “disupat” oleh Sahadewa (dalam cerita Sudamala); terkutuknya roh Prabu Nahusa menjadi seekor naga yang berbisa, kemudian “disupat” oleh Sang Bima dan Prabu Yudistira (dalam cerita Wana-Purwa) dan lain-lainnya.
Sesuai dengan tujuannya maka Upakara Yadnya itu dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu :
a. Upakara-upakara yang berfungsi sebagai pembersihan, misalnya ‘byakala’, ‘prayascita’, ‘durmenggala’, ‘cari-resigana, ‘panca kelud’, dan sebagainya.
Upakara-upakara ini dapat dipergunakan sebagai pendahuluan dari suatu yadnya, pembersihan terhadap suatu tempat, diri sendiri dan lain-lainnya. Pada umumnya upacara ini dilakukan di halaman (‘sanggah’ atu ‘pura’) kemudian diakhiri di jaba (di jalan). Apabila upacaranya lebih besar (upakaranya lebih banyak), maka setelah upacara, kotoran/sampahnya dibuang ke kali atau ke laut.
b. Upakara yang berfungsi sebagai pemeliharaan dan ‘penyupatan’ terhadap para ‘bhuta kala’ dan makhluk-makhluk tersebut, misalnya ‘segehan kepel’, ‘segehan cacahan’, ‘segehan agung’, ‘gelar sanga’, dan beberapa jenis caru. Upakara ini dapat dipergunakan sebagai persembahan biasa dan menyertai setiap yadnya.
Pelaksanaannya dapat dilakukan bersamaan dengan yadnya yang bersangkutan atau setelah yadnya itu selesai. Dalam keadaan yang biasa upacara ini dilakukan pada : tiga tempat yaitu :
1. Di halaman merajan, ditujukan kehadapan Sang Bhuta Bucari.
2. Di halaman rumah, ditujukan kehadapan Sang Kala Bucari
3. Di halaman luar (di jaba) ditujukan kepada Sang Durga Bucari.
Bila dihaturkan di halaman “pura”, maka banten ini ditujukan kepada para pengikut dari Ida “Bhatara-Bhatari” yang ada di “pura” tersebut. Dan dalam upacara-upacara yang lebih besar, sudah tentu upakara-upakara tersebut akan dihaturkan sesuai dengan puja pengantarnya.
Upacara-upacara “Bhuta Yadnya” yang tersebut di atas adalah dalam arti yang umum, karena masih banyak jenis upacara dan upakara “Bhuta Yadnya” yang dipergunakan pada waktu-waktu / tempat-tmpat yang tertentu misalnya di bawah tempat tidur, di sawah, di dapur, dan sebagainya.
Kiranya setiap agama mempunyai dasar pengorbanan untuk mencapai kesempurnaan yang lebih tinggi, misalnya :
Di dalam agama Islam mengenai adanya Idhul Korban (Idhul Adha), Agama Kristen / Katolik, menganggap Yesus Kristus telah mengorbankan dirinya untuk keselamatan para pengikut beliau, sedangkan bagi umat Hindu mengenal adanya Upacara Bhuta Yadnya.
Secara sederhana dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa “Bhuta Yadnya” itu berfaedah bagi yang dijadikan korban, karena “rohnya” ditingkatkan, yang menerima korban, yaitu dapat berguna bagi kesejahteraan alam, atau kembali kepada asalnya dan bagi yang melakukan yadnya itu sendiri, karena dapat melakukan kewajiban sebagaimana yang ditunjukkan oleh ajaran agama.
Yaitu berbuat demi kesejahteraan alam beserta isinya.
Di dalam Bhagawad Gita disebutkan :
niyatam kuru karma twam
karmajyayo hy akarmanah
sarīrayātra pī ca te
na prasidhad akarmanah 1)
Artinya :
Lakukanlah pekerjaan yang diberikan kepadamu karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya. Dari pada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara dirimu tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja.
karmanai ‘va bi samsiddhim
asthita janakadayah
lokamsamgrahan eva’ pi
sampasyamkartum arhasi 2)
Artinya :
Hanya dengan perbuatan Prabu Jantaka dan lain-lainnya mendapat kesempurnaan. Jadi kami harus juga melakukan pekerjaan dengan pandangan untuk pemeliharaan dunia.
Demikianlah saya dapat sampaikan tentang Bhuta Yadnya, tentu dalam hal ini banyak hal kiranya dalam penyampaian saya ini yang tidak berkanan di hati bapak-bapak dan ibu sekalian oleh karenanya saya mohon maaf yang sedalam-dalamnya. Akhirnya acara ini saya tutup dengan parama canthi, Om Cantih, Cantih, Cantih Om.