Tajen |
Berbagai jenis judi yang dapat kita ketahui seperti ceki, dadu, keles togtog, ceblok, trui, bola adil, domino, blok kiu, dan tidak ketinggalan salah satu bentuk judian tradisional yaitu tajen (sabungan ayam). Dalam hal ini kita akan mencoba memberikan ulasan mengenai jenis judi secara singkat untuk bisa dimengerti sekedar model liku – liku wujudnya. Judi yang lebih bersifat pribadi, karena pemainnya terbatas adalah ceki dan domino. Ini judi kelas rumah. Ceki dimainkan empat atau lima orang, menggunakan kartu cina berjumlah 120 (seratus dua puluh). Semuanya punya nama, setiap jenis berjumlah empat, jadi dari keseluruhan kartu itu ada tiga puluh macam. Tiga puluh ini terbagi lagi menjadi spuluh persekutuan. Cara berjudi ini rumit atau sulit menejelaskan tanpa praktek langsung. Main domino di Bali menggunakan kartu lima di tangan, dan satu kartu diletakkan sebagai pembuka. Dengan begitu ada kartu sisa yang tidak dipakai, karena pemain domino hanya empat orang. Kalau seorang pemain tak bisa menjalankan kartunya, ia harus mematikan kartunya damn menaruh di bawah. Jadi selain menebak kartu lawan, penjudi domino versi Bali juga harus bisa menebak kartu lawan. Penjudi domino di Bali cerdik sekali mempermainkan kartu yang hanya 28 buah itu. Keles menggunakan uang kepeng cina, tetapi bukan yang digunakan untuk upacara keagamaan. Bentuk uangnya lebih besar tetapi lebih tipis. Gambarnya lebih indah. Jumlahnya seratus dua puluh biji. Permainan judi ini memakai melandang. Permainan judi Trui, penjudi memasang lebih dahulu bidang – bidang tersedia setelah usai, melandang memberi perintah kepada bandar taruhan untuk melepas dua bola trui itu ke piring. Cara memutar terserah tabiat para bandar. Setelah kedua bola berhenti, diperkirakan tidak bergoyang lagi, melandang mencolek piring, pertanda angka paling atas dari kedua bola trui itu sah untuk kemenangan. Togtog memakai uang kepeng sebanyak 16 biji. Ada seonggok kayu sebagai alas tangan menangkap uang kepeng. Bandar memegang uang itu di tangan kanan. Menangkapnya dengan telapak tangan betumpu ke kayu itu. Petaruh menebak bunyiuang yang ditangkap bandar. Kalau permainan dadu, petaruh langsung melawan bandar. Ada tiga buah dadu ditaruh di dalam sebuah piring. Kemudian ditutup kaleng lalu dikocok, laantas ditebak oleh petaruh, lewat selembar kain yang digelarkan yang sudah berisi angka – angka berupa lambang sesuai mata dadu.
Beberapa jenis permainan dadu di atas hanya bisa diuraikan dengan singkat dan garis besarnya, namun dalam hal ini ada juga beberapa jenis judi yang tersebut di atas tidak diuraikan model permainannya. Marilah kita sedikit perlu kita ketahui permainan sabungan ayam, dapat muncul dalam dua manifetasi. Pertama namanya “Tajen”, yang kedua disebut “Tabuh Rah”.
Tajen adalah salah satu bentuk judian tradisional dan bahkan muncul dengan pariasi baru, namanya branangan / tebuan. Hakekatnya sama dan sebangun dengan tajen. Hanya saja pelaksanaannya tidak terlalu terikat oleh peraturan “Protokoler” tajen pada umumnya. Kalangan tajen (tempat pelaksanaan sabungan ayam) tak seketat tajen yang baik dan benar. Saya kemong dan ceeng tidak ada. Diganti dengan perhitungan angka. Seperti dalam pertandingan tinju, satu, dua, tiga, dst. Pokoknya jauh lebih santai. Lebih dari itu, branangan sebagai wujud paling santai dari tajen, dilaksanakan dimana saja dan kapan saja, dan dijamin pasti ramai pengunjung. Tajen memang luar biasa unik, merupakan unteng atau batang atau pokok segala bentuk perjudian. Maksudnya, tajen dalam artian sebenarnya, tak mungkin berdiri sendiri artinya dimana ada tajen disana pula akan dapat dijumpai berbagai jenis judian yang lainnya seperti yang telah disinggung di atas. Sering pula judian lainnya sekedar sebagai pemanasan sebelum tajen dimulai. Setelah tajen dimulai perhatian akan tertuju ke arah sabungan ayam. Dan begitu sabungan ayam berhenti, satu persatujudian yang lainnya juga akan bubar.
Pada masa dimana tajen dimungkinkan digelar dengan bebas, penampilan tajen sungguh gegap gempita. Benar tajen adalah judian yang bisa membawa malapetaka dan membuat hancurnya keluarga. Bahkan tahun 1960-an, soal ayam jago sering menjadi sumber ‘marahnya’ bapak – bapak istri, dan tidak jarang istri ‘terancam’ perasaannya menunggu si bapak datang dari metajen (adu ayam). Jika memang dari jauh senyuman bapak terkulum dibibir, berarti si istri ikut telaten mengurus ayam jago. Tapi jika kalah, ayam jago mati di arena, si bapakpulang dengan muka masam dan tidak jarang priuk utuh jadi sasaran tendangan marahnya bapak. Kalahnya ayam jago di arena adalah dukanya seluruh keluarga. Jika ayam jago menang seluruh keluarga riang dan tetanggapun datang ngobrol. Seperti apa yang telah diungkapkan di atas dalam tajen kalah dan menang bukan saja penting tetapi benar – benar pokok. Dimana ada tajen disana ada orang yang kalah dan ada orang yang menang. Tetapi pada hakekatnya yang namanya nafsu yang merupakan musuh yang terdekat sepanjang kita tidak bisa mengendalikan akan membawa bencana yang sangat besar. Apalagi yang disebut dengan “bebotoh” (penjudi) sudah barang tentu membawa kerugian yakni : rugi waktu artinya waktu lebih banyak disita untuk berjudi, rugi material artinya kita tidak sempat mengambil pekerjaan untuk menambah pendapatan dan yang paling dominan dikeluarga adalah kurangnya kita menaruh perhatian kasih sayang terhadap keluarga.
Tidak dipungkiri, bahwa ada segi positifnya dari sabungan ayam. Ternyata banyak ditemui orang yang menggantungakn hidupnya dari sabungan ayam. Seakan tajen, dagang, melandang, para pembantu bebotoh kawakan yang menggantungkan hidupnya dari sabungan ayam. Yang lainnya lagi, cukai tajen, karcis masuk, parkir, kalau terus dikumpulkan akan dapat membiayai pembangunan wantilan desa.
Sebaliknya, tentu saja pengaruh negatifnya jauh lebih besar. Makanya sabungan ayam sama sekali tidak dibenarkan baik oleh agama maupun peraturan – peraturan yang lain. Perjudian tentu saja, haram hukumnya bagi setiap agama. Termasuk dalam Agama Hindu. Bahkan seorang ulama dianggap tidak sah memimpin upacara agama jika ia masih digoda nafsu bebotoh. Karena itu saya kutip Sloka 221 Kitab “Manawa Dharmasastra” yang berbunyi : “Perjudian dan bertaruh supaya benar – benar dikeluarkan dari wilayah pemerintahannya, kedua hal itu menyebabkan kehancuran Kerajaan Putra Mahkota”
Mengeni akibat perjudian dari apa yang dimaksud dengan perjudian dan bertaruh, diuraikan pada kitab “Manawa Dharmasastra” Sloka 222, 223, 227. ketentuan yang lain : UU No. 7/1974, Kepres No. 47/1973, Pasal 303 KUHP, disamping beberapa peraturan yang melarang praktek perjudian. Malahan Presiden Soeharto dalam pidato mengantarkan Nota Keuangan RAPBN 1981/1982telah pula menegaskan untuk melarang semua bentuk perjudian mulai 1 April 1981.