Sabungan ayam, masih ada kekecualian. Masih ada yang resmi dengan ijin pemerintah. Tetapi tanpa embel – embel taruhan, tanpa hukum – hukum yang berlaku sebagaimana sabungan ayam untuk para “bebotoh”. Ini adalah sabungan ayam yang berkaitan dengan upacara keagamaan, yang disebut “Tabuh Rah”. Inipun dilaksanakan tiga saet dan dilengkapi adu – aduan kemiri, telur, kelapa, dan upakara yajna disertai toh dedamping tidak bermotif judi sebagai perwujudan ikhlas berkorban.
Tabuh rah mempunyai landasan konsepsional dalam agama hIndu yakni merupakan sarana untuk mengharmoniskan hubungan “Bhuana Agung” dengan “Bhuana Alit”. Di dalam pengertian harmonis, terjadilah penyatuan unsur – unsur yang sesuai. Jadi Yadnya (pengorbanan suci) kepada “Panca Maha Bhuta” haruslah menggunakan sarana yang sesuai dengan unsur – unsur di dalam “Panca Maha Bhuta” itu. Unsur itu yang paling dominan adalah zat cair. Di Bhuwana Agung, zat cair ini diwakili oleh air, sedang di Bhuwana Alit diwakili oleh darah merah. Di dalam ajaran Agama Hindu disebutkan, kalau mengharmoniskan hubungan antara dua jagat itu datangnya dari ‘Bhuwana Agung” ke “Bhuwana Alit”, maka sarananya adalah air, ini yang disebut “tirta” atau air suci. Sebaliknya dari badan kecil ke dunia mahaluas, sarananya adalah darah hewan, dan ini disebut “tabuh rah”. Upacara ini tergolong “Bhuta Yadnya” salah satu dari panca Yadnya itu.
Masalahnya adalah, kenapa untuk acara “tabuh rah” itu, dua ayam mesti diperlagakan. Kenapa tidak disemebelih saja, dan darahnya dipercikkan ditempat upacara?
Kembali lagi kepada ciri khas orang Bali sejak dahulu, selalu menyenikan jalannya upacara. Diperkirakan kesenian tabuh rah ini muncul di awal abad ke sebelas, pada pemerintahan Raja Udayana. Ini diperkuat dengan ditemukannya prasasti Batur Abang bertahun 933 çaka (1011 masehi). Ada sepotong kalimat bertulis : “Mwang yan pakaryakarya, masanga kunang, wegila ya manawunga makantang tlung parahatan, ithanya, tanpamwita tanpawwata ring nayaka saksi” arti bebas : “Bila mengadakan upacara – upacara misalnya tawur kesanga, patutlah mengadakan sabungan ayam tiga angkatan (saet) di desanya, tidaklah perlu minta ijin, tidaklah memberitahukan kepada pengawas (pemerintah).
Prasasti Batur Abang ini di dukung lagi dengan prasasti Batuan yang bertahun 944 çaka (1022 masehi), yang menulis sebagai berikut :
“Kumang yan manawanga ing pangudwan maka tang tlung marahatan, tan pamwitan ring nyaka saksi mwang sawung tunggur, tan hana minta panili”
Artinya : “Adapun bila mengadu ayam ditempat suci dilakukan tiga angkatan (saet) tidak minta ijin kepada pemerintah dan juga pada pengawas sabungan tidak dikenai pajak”
“Tabuh rah” ini dalam bahasa rakyatnya “mecaru”, memang dilakukan tatkala “Tawur Kesanga” (sehari sebelum hari raya Nyepi – tahun baru çaka), dan juga diselenggarakan ditempat suci (pura) setelah selesai menyelenggarakan upacara Dewa Yadnya. Berkenaan dengan tabuh rah, sempat dirembugkan dalam seminar III Kesatua tafsir terhadap aspek – aspek Agama Hindu, tanggal 4 – 7 Februari 1976 di Denpasar. Disini jelas dirumuskan bahwa “tajen” atau sabungan ayam bukan “tabuh rah”. Pada bulan Januari 1983, para pemuka di Bali mengadakan seminar yang membahas acara “tabuh rah”, tak ditemukan dalam lontar dan kitab suci ajaran Hindu bahwa “Tabuh rah” mesti dengan perkelahian dua ayam. Dengan demikian tabuh rah bentuknya dapat berupa :
1. Dengan memotong leher ayam kecil, leher babi kecil (babi butuhan), yang disebut penyambleh
2. Dengan menikam binatang korban sehingga darahnya berceceran pada waktu upacara mepepada.
3. Dengan mengadu ayam “Gocekan” ditempat upacara dengan tanpa taruhan, dilaksanakan hanya tiga saet dilengkapi dengan adu – aduan kemiri, telur, kelapa dan upakara yadnya disertai toh dedamping tidak bermotif judi sebagai perwujudan ikhlas berkorban.
Dapat juga dengan menghidangkan darah mentah pada banten “caru”.
Masyarakat Bali adalah penganut “Gugon Tuwon”. Apa yang sudah diwarisi berabad lalu seolah senilai sama dengan agama. Antara warisan budaya dan ajaran agama, terkadang sulit diadakan pemisahan, lebih – lebih bagi masyarakat pedesaan yang berpendidikan rendah. Jadi mereka tak bisa melepaskan begitu saja tabuh rah dalam versi lama yakni menyabung ayam.